October 4, 2006

4 Hari Menghirup Debu Arjuno & Welirang

Catatan Perjalanan: Pendakian Arjuno (3165 Mdpl) & Welirang (?  Mdpl)

Lembah Kijang, Arjuno
Apa yang aku bayangkan tentang gunung ini sungguh jauh berbeda dengan kenyataan.
Gunung dengan daun-daun rimbun melambai, udara sejuk dan suasana yang teduh adalah gambaran yang melintas difikiranku. Karena tidak sempat browsing untuk melihat keterangan atau membaca catatan perjalanan pendakian, pengetahuanku mengenai gunung ini belum banyak.
Hubungan mesra dengan dunia maya  sudah dicabut dengan paksa oleh orang-orang pengambil kebijakan dikantorku, jadi info yang kudapat hanya dari itenary yang dikirimkan Bambang beserta sebuah foto udara gunung tersebut, yang diambilnya dari google. Dipeta itu terlihat bentangan-bentangan pegunungan yang kemudian diberi penunjuk jalur oleh Bambang. Hamparan pegunungan yang hijau dengan awan-awan diatasnya.
Semula ada beberapa orang yang berencana ikut dalam pendakian ke gunung yang terlerak  di Jawa Timur ini, ada Rona, Kiskie, Bambang, Putri dan Mas Bagus. Rona yang sejak semula masih ragu karena baru saja mengambil cuti panjang untuk mudik, akhirnya benar-benar tidak bisa bergabung. Kiski tak kedengaran kabarnya, Mas Bagus yang tadinya berhasil aku bajak dari tim pendakian Slamet, akhirnya batal juga karena cutinya tidak disetujui. Padahal tiket sudah aku pesan untuknya. Bambang sudah menyatakan bersedia menemani namun di menit terakhir akhirnya batal juga karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan

Tiket Kena Tuslah?

Beberapa hari sebelum keberangkatan aku sudah berusaha memesan tiket dari Miss Ary (milis pangrango) yang punya teman di KAI. Tapi usaha ini tidak membuahkan hasil dan aku dikabari beberapa hari menjelang hari keberangkatan. Aku menghubungi travel langganan kantorku yang mengatakan bahwa tiket kelas bisnis ke Surabaya sudah habis dipesan termasuk tiket kembali dari Surabaya ke Jakarta. Tiket yang masih ada adalah kelas eksekutif dengan harga Rp 280, 000,- dan kelas ekonomi dengan harga Rp 91,500,-


Aku menawarkan hal ini pada Mas /Bagus dan Putri, akhirnya pilihan jatuh pada tiket ekonomi.

Si wanita karyawan travel mengatakan bahwa harga memang naik karena libur panjang (??????). Tiket untuk kembali belum ada. Kami pasrah untuk mencari tiket kembali di Surabaya saja, jika tidak ada kereta, mungkin nanti akan ada bis, misalnya kepulangan diundur 1 hari pun aku & Putri sudah siap.

Hampir Ketinggalan Kereta

Tanggal 16 Agustus 2006 akhirnya kami berangkat juga, 15 menit sebelum kereta berangkat aku sudah tiba di stasiun senen. Putri  memberi kabar bahwa dia masih ditaksi terjebak kemacetan. Aku berdiri menunggu di depan stasiun. 10 menit kemudian putri belum juga tiba, kereta segera akan berangkat. Kutelepon Putri namun tidak diangkat. Aku sempat bingung memikirkan bagaimana kalau Putri belum muncul juga saat kereta akan berangkat? Apakah aku akan naik saja? Bagaimana dengan Putri? Beberapa detik kemudian dia muncul berlari-lari. Kami segera masuk kereta. Hampir saja ketinggalan.

Bersama Merasakan Fasilitas Kelas Kambing


Puncak Gunung Arjuno
Kursi yang tertera di tiket kami sudah diduduki beberapa orang, kami sempat bingung bagaiamana meminta mereka untuk meninggalkan kursi itu, apalagi ada seorang Bapak tua diantara mereka. Akhirnya atas desakan penumpang  lain, mereka meninggalkan kursi kami. Kursi yang sedianya untuk mas Bagus kosong dan membuat aku dan Putri bisa duduk dengan lega. Bapak tua itu pergi entah kemana, aku melihat sekeliling dan tidak menemukannya. Kemudian seorang laki-laki menduduki kursi kosong kami. Kami sempat mencandainya dengan memintanya membayar setengah dari harga tiket.

Meski sehari menjelang long weekend kereta sudah penuh dipadati penumpang. Semua tempat duduk terisi termasuk lorong-lorong kereta. Aku teringat pengalaman naik kereta tanpa tempat duduk dua tahun lalu dari Jakarta menuju Malang dengan 3 orang teman dari milist pendaki. Hal itu akibat kami memebeli tiket disaat akan berangkat, akhirnya tak ada pilihan lain selain kereta yang sering  disebut “kereta kambing”

Entah karena aroma didalam kereta yang bercampur aduk ditambah bau toiletnya atau karena penumpang yang berdesak-desakan sehingga teman-temanku sering menyebutnya kereta kambing. Belum lagi pengamen-pengamen dengan lagu yang jauh dari merdu dan pedagang yang berteriak-teriak menawarkan dagangannya, menambah ketidak nyamanan di kereta.
Puncak Arjuno
Toilet adalah fasilitas yang paling penting namun justru paling mengerikan di kereta ini. Di awal keberangkatan aku sudah berniat untuk menuntaskan hasrat ku untuk ke toilet, namun karena waktu keberangkatan yang mendesak, niat itu tidak kesampaian. Akupun berjalan ke arah toilet untuk meninjau kondisi. Seperti yang pernah ku tahu dan bayangkan, toilet itu jauh dari kata layak, dengan bau yang luar biasa, tidak ada ember penampungan air, tidak ada gayung, hanya ada air yang menetes pelan dari kran. Pintu berlobang dengan diameter kira-kira 5 cm. Lubang itu adalah tempat pegangan dan kunci seharusnya berada. Namun pegangan pintu itu raib entah kemana.



HIP ku segera hilang, bagaimana aku bisa buang air jika toilet berlubang seperti itu? Bagaimana aku bisa buang air jika pintu tidak bisa dikunci? Sementara seorang Bapak tua duduk rapat didepan pintu toilet. Entah apakah dia terganggu dengan bau yang dikeluarkan, atau dia berusaha menahan saja. Entahlah…Aku kembali ke tempat duduk kembali.

Sepanjang perjalanan aku tak bisa tidur, karena tidak berhasil menemukan posisi nyaman. Berkali-kali aku mengubah posisi duduk, tapi rasanya tetap saja tidak enak. Seandainya jika penumpang dikursi depan kami adalah teman-teman, pasti sudah aku gelar matras dilantai bawah kursi, tapi aku tidak merasa nyaman untuk melakukannya mengingat orang yang duduk didepan kami adalah orang yang baru pertama kami kenal.

Dijemput Casanova Surabaya (17 Agustus 2006)

Begitu sampai di stasiun, Bambang menelepon menanyakan posisi kami. Aku memberitahu kami sudah sampai dan akan mandi dulu sebelum ke Bungur Asih, tempat kami berjanji untuk bertemu. Aku dan Putri menyempatkan diri untuk mandi, membuang keringat, debu dan semua aroma yang menempel di tubuh kami. Air dikamar mandi stasiun terasa sedikit asin, aku tidak tahu apakah sumber air nya berasal dari daerah dekat pantai. Kami segera menuju Bungur Asih dengan taksi Blue Bird. Argo mencapai Rp 50,000,- lebih ketika kami sampai.

Sang Casanova muncul dengan baju orange nya ketika aku sibuk mencoba menghubungi nomornya. Segera aku ingat baju inilah yang dipakainya untuk mengepel lantai tenda yang banjir waktu kami di Pulau Sempu (xixixixixi….) Dengan senyum khas (yang telah meruntuhkan banyak buah…eh..hati wanita) dia menuju ke arah kami. Salam hangat, dan tegur sapa segera hadir. Kami dibawa ke tempat teman-temannya menunggu, 3  orang pria diperkenalkan pada aku dan Putri. Dua orang diantara mereka akan menemani kami kali ini karena Bambang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya.

Menuju Tretes

Dari Bungur Asih kami naik bis Jurusan ? (lupa) dengan ongkos Rp 5000. Diperjalanan kami melewati desa Porong yang digenangi lumpur panas yang sering aku saksikan di tv. Aroma lumpur bercampur belerang tercium di udara. Tinggi lumpur sekitar selutut menggenangi rumah-rumah penduduk yang berada dipinggir jalan, terlihat rumah-rumah sepi yang ditinggalkan oleh penghuninya. Dikejauhan terlihat asap mengepul dari lokasi sumber luapan lumpur panas.

Kemudian kami menyambung dengan angkutan jenis L 300 dengan ongkos Rp 5000/orang. Sekitar jam 15.00 kami tiba di Tretes. Daerah sejuk dikaki Gunung Arjuno yang telah dibangun banyak hotel-hotel. Ada sebuah pasar tradisional berada sekitar 400 m dari pos pendaftaran pendakian, kamipun membeli sayur-sayuran untuk konsumsi selama 3 hari pendakian. Aku sempat membeli ketan dan tape ketan yang kemudian kuketahui berasa enak sekali. Di kereta waktu kami ngobrol dengan seorang Bapak, aku mengetahui bahwa Tretes adalah daerah lokalisasi, hal itu dibenarkan Bambang.

Kami mendirikan tenda di pos yang biasa disebut Pet Bocor, nama ini konon diberikan karena adanya sebuah pipa air yang bocor didaerah ini. Posisi tenda didirikan menghadap kota(desa?) kampung halaman Inul Daratista yaitu Pasuruan, yang terlihat indah pada malam hari dengan kilauan lampu-lampu. Malam itu kami makan telur dadar dengan irisan sosis dan cumi gulai yang ditambahkan dengan sayur labu siam. Lalu ada popcorn ala Rina sebagai makanan penutup. Karena Putri dan aku kurang tidur malam sebelumnya, kami segera masuk tenda untuk tidur, ternyata Bambang pun kurang tidur malam sebelumnya sehingga kami ketahui esoknya bahwa kami tidur pada jam 20.00

Malam itu Bambang ngorok lagi, seperti waktu di Argopuro dan Sempu, halah cewek-cewek! Ngapain juga naksir Bambang, asal tau aja, ngorok nya kuenceng rek ; P

Menuju Lembah Kijang (18 Agustus 2006)

Esok paginya Setelah sarapan Bambang berangkat menuju Surabaya untuk kerja, kami memulai perjalanan jam 10.00 dengan target menginap di lembah Kijang . Jalan yang kami lalui adalah adalah jalanan berbatu yang biasa dilewati mobil penganggkut belerang hingga Kop-kopan. Kop-kopan adalah salah satu pos yang biasanya digunakan pencari belerang dan pendaki untuk menginap. Pos ini kami capai dengan berjalan kaki selama 3,5 jam. Ada sungai dengan lebar sekitar 1 meter yang berair cukup bening untuk digunakan memasak dan ada juga Jamban yang juga bisa digunakan untuk mandi. Jamban ini berdinding karung plastik dengan lantai tanah. Saluran pembuangan sepertinya tersalur kesungai, aku tidak sempat memastikan.

Kami makan siang dengan mi rebus + telur, menu praktis di siang hari. Pada pendakian-pendakian yang sebelumnya pernah aku jalani, kami hampir tidak pernah makan siang, mengingat kerepotan membongkar alat-alat, dan waktu memasak yang pasti cukup memakan waktu. Tapi kali ini Kucing mengajak kami istirahat dan masak, yang kami setujui karena perut yang berdemo menuntut haknya.

Dari kop-kopan jalan sangat berdebu, tanah menjadi lembut karena banyak dilalui gerobak pengambil belerang, apalagi saat itu kemarau sedang menyentuh bumi Indonesia. Jalur Pendakian jelas, banyak percabangan yang dibuat oleh para pencari belerang yang membuat alternatif – alternatif jalan yang lebih landai untuk gerobak mereka. Percabangan-percabangan jalan tersebut pada akhirnya akan bertemu kembali.

Debu segera berterbangan di udara setiap kami menginjak tanah. Langkah orang lain maupun kami sendiri membuat debu berterbangan, sehingga setiap bertemu rombongan yang hendak turun, kami mendapat musibah debu. Apalagi pendaki yang sedang turun seringkali berlari. Padahal bandana yang kami gunakan untuk menutup hidung menimbulkan rasa tidak nyaman saat menghirup udara, terutama saat tanjakan-tanjakan aduhai yang membuat kami ngos-ngosan. Akhirnya bandana lebih enak untuk disimpan dalam tas, lalu debupun kami hirup dengan lepas.

Kami tiba di Pondokan sekitar jam 09.00, sudah terlalu malam untuk mencapai Lembah Kijang yang kira-kira harus berjalan kaki + 45 menit dari pondokan. Akhirnya kami putuskan untuk menginap di Pondokan.

Ditemani Kucing dan Heru aku memasak menu sederhana teri goreng dan sayur labu siam + sambal mesiu yang membuat Heru dan kucing bersin-bersin ketika aku menggorengnya. Putri dipaksa bangun, lalu kami berempat makan dan kemudian tidur nyenyak ditengah udara dingin yang menggigiti kulit.

Mendaki Welirang Dua Kali Dalam Sehari

Pondokan adalah salah satu tempat para pencari belerang menginap selain kop-kopan, disini mereka mendirikan pondok-pondok sederhana berbentuk segi tiga sama kaki yang terbuat dari ilalang. Ilalang dibentuk sedemikian rupa hingga menjadi atap sekaligus dinding pondok. Ada sekitar 10-15 pondok berdiri disini dengan lebar sekitar 2 meter dan panjang 3 meter

Dari hasil ngobrol dengan beberapa orang pencari belerang, aku mendapat keterangan bahwa mereka  mempunyai kelompok-kelompok dalam mengambil dan mengangkut belerang tersebut. Mereka membagi-bagi tugas menjadi:

- 1 orang melakukan penambangan/pengambilan belerang langsung dikawah didekat puncak Wlirang
- 1 orang bertugas membawa belerang dari kawah ke Pondokan
- 1 orang membawa lagi belerang tersebut ke kop-kopan
- Kemudian mobil pengangkut akan membawa belerang tersebut ke pembeli


Uang penjualan kemudian dibagi menjadi 4 yang masing-masing mendapat sekitar Rp 21,000,- hingga Rp 22,000,- per kuintal. Dalam sehari penambang bisa mengangkut 2 karung besar yang per karungnya berisi sekitar 120 kilo. Jadi perhari mereka bisa mendapat sekitar Rp 40,000 hingga Rp 50,000.  Harga yang terlalu sedikit dibandingkan dengan medan yang harus mereka tempuh untuk membawa belerang tersebut kebawah. Mereka harus berjalan mendaki selama berjam-jam ke kawah lalu membawa belerang seberat 120 kg dalam gerobak yang mereka tarik dengan tangan. Belum lagi ekstrim nya cuaca di pegunungan, debu dan panas.

Gerobak yang digunakan untuk mengangkut belerang mirip dengan gerobak besi yang biasa digunakan untuk mengangkut beras di pasar-pasar tradisional,  tetapi gerobak ini terbuat dari kayu, termasuk rodanya. Kayu dibuat bundar lalu bagian luarnya dilapisi dengan karet yang (sepertinya) diambil dari ban sepeda bekas. Pasti mereka mengerjakan sendiri gerobak ini. 

Menuju Puncak Bayangan (19 Agustus 2006)

Target perjalanan hari ini adalah puncak bayangan yang diperkirakan dapat ditempuh dalam waktu 5 jam, maka kami memutuskan berangkat sekitar jam 11.00 siang. Jadi pagi itu kami bangun agak siang dan masak dengan santai. Menu hari itu adalah Sop + chicken nugget +bakwan (yang disebut ote-ote di Surabaya)

Karena terlalu santai, akhirnya kami berangkat jam 12.30. Sekitar 45 menit berjalan, kami sampai di Lembah Kijang, disinilah kami seharusnya menginap semalam, tempat yang lumayan indah. Ada padang savana dan air bagi pendaki yang ingin bermalam. Tempat ini adalah pengisian air terakhir bagi para pendaki yang akan menginap dipuncak. Puncak Arjuno terlihat jelas, membuat ciut nyali karena  begitu tinggi dan terasa sangat jauh.

Kami melanjutkan perjalanan menapaki jalur yang masih berdebu, hutan masih didominasi pinus. Tanjakan mulai tidak berperasaan, tak ada jalan yang landai, yang ada hanya tanjakan dan tanjakan.

Malam sudah menjelang ketika kami sampai di puncak bayangan, angin kencang menampar-nampar tenda yang sedang didirikan, udara sangat dingin, sayang kami tak punya pengukur suhu, sepertinya suhu saat itu tidak kalah dingin dengan Ranu kumbolo waktu aku kesana September 2005. Setelah tenda didirikan, aku sama sekali tak punya niat untuk memasak karena rasa capek yang luar biasa. Setelah mengganti baju, aku langsung masuk ke dalam sleeping bag, Putri juga melakukan hal yang sama. Aku mendengar Kucing dan teman-temannya memasak.

Setelah selesai, mereka memanggil-manggil kami untuk makan. Tapi lebih enak rasanya bergelung didalam sleeping bag. Kucing masuk ke tenda membujuk namun kami tetap meringkuk dalam sleeping bag. Karena tidak berhasil, Kucing menyerah, usahanya dilanjutkan Heru yang masuk ke tenda dengan sepiring makanan. Akhirnya kami bangun juga. Melihat nasi +mi Instant rebus melar yang ada dipiring membuatku tambah enggan makan. Akhirnya setelah mencari bakwan sisa siang yang sempat hilang, kami makan juga.

Malam itu sulit buat aku mencari posisi tidur yang nyaman karena ada batu dibawah tenda yang lumayan besar tepat berada dibagian punggungku. Belum lagi udara yang dingin sekali. Beberapa kali aku terbangun karena kedinginan.

Ke Puncak Arjuno (20 Agustus 2006)

Esoknya setelah selesai sarapan kami menuju puncak. Hampir semua peralatan ditinggalkan dan dijaga oleh Heru. Kami hanya membawa makanan kecil, minuman dan kamera. Jalur menuju puncak berupa tanjakan-tanjakan berbatu. Kami beruntung karena cuaca cerah saat itu.

Disebuah tempat yang datar ada tiga buah susunan batu-batu yang menyerupai makam. Dari antara ketiganya ada 1 nisan yang bertulisan jelas, terukir nama Denny Rifliansyah dan tanggal 27 Febuari 1999. Biasanya tanggal yang tertulis adalah tanggal dia hilang atau terpisah dari teman-temannya. Menurut keterangan Kucing, dia adalah pendaki asal Jakarta yang hilang dan tidak pernah ditemukan. Sedangkan nisan lain tulisannya sudah hampir hilang, yang bisa terbaca hanya tulisan RIP. Yah, pasti damai sekali disini, yang ada hanya angin, awan dan kesunyian.
Puncak Arjuno dilihat dari Lembah Kijang

Sekitar 30 menit berjalan, kami sampai dipuncak. Kami saling bersalaman dan merayakan dengan makan makanan kecil dan foto-foto. Pemandangan disini benar-benar terbuka dan indah, terlihat gunung Semeru dengan letupannya, Pananjakan, dan ada beberapa gunung yang disebut Kucing yang aku lupa namanya.

Kami turun ke puncak bayangan, mengambil ransel-ransel lalu turun. Kami tiba di Pondokan jam 3 sore, sudah terlalu sore untuk berangkat ke puncak Welirang. Kalaupun kami ke puncak sore itu, kami akan kemalaman dijalan. Setelah diskusi dengan Kucing akhirnya kami putuskan untuk muncak besok pagi. Rencana pun disusun untuk perjalanan esok hari, kami harus bangun jam 05.30, sarapan, lalu mulai berjalan jam 06.00. Kami perkirakan tiba kembali dipondokan sebelum jam 12.00, turun ke Tretes dan langsung ke Surabaya.

Malam itu ada sms masuk dari Bambang yang isinya memberitahukan bahwa dia berangkat ke Tretes untuk menjemput kami. Sms dikirimkan jam 12.00 siang. Segera aku menelepon si Casanova yang baik hati ini, tapi tidak bisa tersambung karena sinyal yang kurang baik. Akhirnya aku mengirimkan sms menyampaikan bahwa kami masih di Pondokan dan akan kepuncak Welirang besok pagi. Aku harap Bambang langsung kembali saja ke Surabaya karena kemungkinan kami akan tiba di Tretes sore. (Tapi kemudian saat tiba dibawah kami ketahui dari penjaga pos pendaftaran bahwa malam itu Bambang menginap disana menunggu kami. Wahh…baiknya dikaww Mbenk, hikzzz jadi terharu)
Puncak Arjuno


Menuju Puncak Welirang (21 Agustus 2006)

Putri memutuskan tidak ikut ke puncak, jadi dia dan Heru mendapat wewenang, tugas dan kepercayaan untuk  masak buat kami semua (halah!). Sesuai jadwal (tumben) kami bangun jam 05.30, sarapan lalu berangkat. Kucing dan seorang temannya menemani aku.

Jalur ke puncak Welirang tidak begitu terjal, tapi debu-debu lebih tebal. Kucing dan temannya berjalan didepan, sesekali dia memanggil kalau bayangan ku sudah tidak kelihatan olehnya. Sering dia berhenti menunggu.

Puncak Welirang tidak kelihatan selama perjalanan karena letaknya ada dibalik sebuah bukit. Bukit inilah yang kami putari sebelum sampai dipuncak. Kucing menanyakan apakah aku ingin melihat kawah, jika melihat kawah perjalanan sedikit lebih jauh. Aku ajak Kucing untuk melewati kawah. Jalan memutar dan meliuk, setelah sampai didekat kawah, aku melihat jalan menuju kawah sangat terjal dan mengeluh pada Kucing. Dia menawarkan jalan lain yang agak landai, akhirnya kawah kami lewatkan saja. Udara kering dan panas tetapi angin berhembus kencang membuat hidung mengeluarkan cairan. Puncak sudah kelihatan jelas. Kucing memanggil-manggil dari puncak menyemangatiku, halah Cing, tenang aja, pasti nyampe kok, tapi berhenti dulu, capek nih! Akupun melanjutkan menuju puncak.

Jam 09.55 aku tiba dipuncak. Dipuncak terlihat gunung Semeru jelas sekali, cuaca cerah sehingga pandangan terbuka luas. Terlihat pemukiman penduduk disekeliling kaki gunung. Aku membuka Nata De Coco ukuran raksasa yang sengaja disimpan sebagai minuman andalan. Setelah jalan 3 jam dipanas matahari dan menghirup debu, Nata De Coco terasa nikmat mengalir di lidah dan tenggorokan. Apalagi ditemani Wafer tanggo rasa strawberry. Dipuncak kami bertemu dengan teman-teman Kucing. Mereka ngobrol ramai sekali dengan bahasa nasional Jawa Timur. Semua pendaki yang ada saat itu duduk ditanah karena tidak ada batu atau apapun yang bisa dipergunakan untuk duduk.

Aku mengajak Kucing turun, masih panjang perjalanan yang akan kami tempuh hari itu. Kami melewati jalan yang sedikit berbeda karena saat turun kami tidak menjauhi jalan kekawah. Jalan ini lebih terjal namun lebih pendek. Diperjalanan kakiku lecet dan terasa sakit sekali, terutama dibagian jempol sebelah kiri. Saat istirahat aku memeriksa keadaan kaki ku, ternyata  lecet dan berair.  Andai aku membawa sendal fikirku waktu itu. Saat berjalan kembali, aku tetap berusaha menahan rasa sakit setiap melangkah. Meski perih, aku masih bisa berjalan normal, namun perjalanan ke pondokan terasa lama dan panjang sekali. Berkali-kali aku merasa bahwa lembah didepan kami adalah pondokan, namun aku kecewa terus. Akhirnya sebuah ujung pondok hinggap dimataku. Kami sampai. Didepan tenda sudah tersusun piring-piring berisi makanan. Lega sekali rasanya membuka sepatu saat itu. Aku putuskan akan melanjutkan perjalanan dengan sendal saja.

Berkali-kali Jatuh

Setelah makan dan packing, sekitar jam 13.00 kami berjalan kembali. Kali ini semua bersama. Perjalanan masih tetap ditemani debu. Karena memakai sendal aku beberapa kali terjatuh yang membuat yang lain tertawa. Awas kena kutukan seperti Heru kemarin, kataku mengingatkan.  1 hari sebelumnya Heru menertawakan aku saat terjatuh, namun beberapa saat kemudian dia jatuh 2 kali berturut-turut dengan posisi tengkurap xiexixxiexi… :p

Kami tiba di Kop-kopan sekitar jam 16.00, perjalanan dilanjutkan setelah minum teh dan makan bakwan sambal petis . Saat magrib aku jatuh terjerembab lagi, kali ini posisi jatuh membuat lecet dijempolku pecah. Saat melihat sendal ku basah, aku sempat berfikir bahwa itu darah. Namun setelah menyentuh cairan itu, aku tahu itu adalah cairan bening dari lecet yang pecah. Aku memberi Betadine ke luka yang terbuka yang membuatnya terasa perih sekali. Lalu aku membungkusnya dengan kain kasa. Heru menawarkan membawa ranselku yang kutolak dengan alasan ransel itu tidak berat. Perjalanan itu kemudian terasa semakin berat. Warung kecil dipos Pet Bocor belum juga kelihatan. Pura-pura gagah aku berjalan didepan Heru, aku tidak mau merepotkannya. Akhirnya seberkas cahaya terlihat didepan kami, ada Putri dan Kucing duduk diwarung itu. Setelah istirahat beberapa menit, kami masih harus berjalan + 30 menit lagi. Saat-saat seperti itu, rasa sabar , pasrah dan tidak mau menyerah harus ada dihati. Sabar untuk kembali berjalan dan berjalan meski kaki perih dan berdenyut-denyut. Pasrah untuk merasakan sakit yang ada, dan tidak menyerah untuk menjalani sisa perjalanan.

Kami tiba dipos pelaporan. Kembali ke peradaban. Kucing dan Heru mandi. Aku memilih mandi di Surabaya saja karena aku fikir memanggul ransel setelah mandi pasti akan membuat aku kotor kembali. Di bis Jurusan Surabaya, kami disuguhi lagu dangdut yang sedang terdengar dimana-mana, yang salah satu liriknya:  “Bang Sms siapa ini Bang? Judulnya apa yah?

Kami tiba didaerah bernama Aloha sekitar rumah Kucing dan singgah di sebuah warung tenda untuk makan bebek goreng yang terasa nikmat sekali. Bambang menelepon dan aku minta dia untuk datang.  Dia bersedia datang asal disediakan bebek goreng (huh matre ! :p)

Setibanya dirumah kucing, hal yang paling ingin aku lakukan adalah mandi. Setelah berkenalan dan basa-basi sedikit dengan Ibu dan kakak laki-lakinya kucing, aku segera mandi. Waktu mandi aku perhatikan sabun hampir tidak berbusa karena kotoran dikulitku, begitu juga shampoo ketika hinggap dirambutku. Alangkah dahsyatnya debu-debu itu.

Sekitar jam 11.30 Bambang datang. Kami berbincang-bincang soal perjalanan selama 4 hari itu, kemudian tak sadar aku tertidur di atas kursi panjang.

Pulang (22 agustus 2006)

Pagi harinya Bambang harus berangkat kerja, berarti kami pulang nggak diantar Bambang, hikzzz… Akhirnya seharian itu kami isi dengan malas-malasan. Jam 12.00 kami sempat makan rujak cingur di warung yang tidak jauh dari rumah Kucing. Jam  16.00 kami sudah berangkat menuju stasiun ditemani Kucing, Heru dan Lontar. Kucing membawa ransel putri di punggung dan ranselku di depan sambil mengendarai motor. Kucing memang handal!!!...

Kami berencana untuk singgah disebuah toko penjual souvenir, namun ternyata tutup. Akhirnya kami langsung ke stasiun. Perpisahan terasa mengharukan, meski kereta sudah ada di stasiun, aku dan Putri memilih untuk naik kereta di menit terakhir saja. Menit terakhir itu akhirnya datang juga, Kucing mengantar sampai ke tempat duduk membawakan tas-tas kami. Wah sepertinya ada yang paling berat berpisah, soalnya ada bunga-bunga asmara dan bintang-bintang berterbangan digerbong waktu itu ;;) Akhirnya mereka turun dan melambaikan tangan saat kereta berangkat. Tenang Cing! Jakarta-Surabaya itu deket kok…

Thanks to:

-  Almighty God, for giving me protection, and chance to live this wonderful life.
-  Bambang, yg selalu setia memberikan service terbaik. Yang setia menemani, yang selalu lucu. Mbenk You are the best!! J
-  Kucing & Heru, Udah sabar bersusah-susah menemani 2 cewek yang merepotkan, jangan jera yah! Cing temani ke Raung ntar yah J
-  Semua sponsor dan pihak2 yang telah membantu terlaksananya pendakian ini (halah!)

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah mampir, silahkan tinggalkan pesan untuk tulisan ini yaa. Terimakasih