September 3, 2015

BPJS, Berjuta Kerepotan Untuk si Sakit

Suatu hari saya menyadari ada benjolan di payudara saya, lalu saya memeriksakan diri ke klinik Cassa Medica Batu Aji, kemudian dokter  merujuk saya ke Rumah Sakit Cassa Medica Panbil (Muka Kuning). Di RS ini saya saya dimintai foto copy kartu BPJS 4 lembar, ktp 4 lembar, dan surat rujukan 3 lembar (ditambah surat rujukan asli yang harus diserahkan, total 4 lembar). Entah untuk apa foto copy hingga rangkap 4 itu.


Saya mengantri panjang sebelum  akhirnya bertemu dokter yang kemudian memeriksa kembali benjolan saya. Sebelum dokter memeriksa saya, seorang perawat mempersiapkan saya untuk diperiksa. Saya diminta menunjuk dimana benjolannya, dan tangan saya harus  tetap dalam posisi menunjuk sambil menunggu dokter. Saya merasa dokter disini bak dewa sibuk yang seolah tak punya waktu untuk memeriksa saya, jadi dia hanya akan memeriksa dimana jari saya menunjuk? Bukankah dia mustinya memeriksa semua bagian? Saya sering mendengar kasus beberapa benjolan di payudara yang sama, dan juga 2 benjolan dipayudara yang berbeda, lalu mengapa? 

Setelah memeriksa, dia kembali ketempat duduk dan menulis banyak hal di form pasien sehingga saya tidak sabaran menunggu langsung bertanya: bagaimana dokter? Perawat langsung menghentikan ucapan saya, dia menjelaskan bahwa dokter akan memberi penjelasan jika dia sudah selesai menulis. Saya pun menunggu lagi. Akhirnya dia mengangkat kepala dan bilang bahwa ada tumor di payudara saya dan harus diangkat, yang diangkat hanya tumornya saja katanya menenangkan.

Lalu saya diminta untuk tes darah dan ronsen untuk mengetahui kondisi saya untuk menjalani operasi. Diform permintaan ronsen dan tes darah saya melihat fotocopy BPJS dilampirkan, rupanya pihak lab perlu juga tahu, dengan biaya apa saya akan membayar rumah sakit ini, jadi untuk inilah 4 lembar fotocopy tadi. Mengapa mereka tidak menuliskan saja nomor BPJS saya dan menyimpan 1 lembar saja dibagian pendaftaran, entahlah, mungkin mereka seperti pelayanan publik lain di Indonesia yang masih setia dengan prinsipnya: kalau bisa dibuat repot, mengapa dibuat gampang?

Saya tes darah lalu ronsen, tidak banyak antrian seperti ketika hendak bertemu dokter. Hasil saya langsung diberikan dan saya membawanya ke dokter. Saya diminta untuk membeli materai seharga Rp 3000 untuk menandatangani pernyataan bersedia di operasi, saya harus membayar Rp 4000, tentu saja.

Lalu perawat membawa saya keluar, berdiri didekat loket pendaftaran dan menjelaskan bahwa saya harus  operasi tapi peralatan anastesi (bius) mereka sedang rusak, sampai kapan rusaknya? Mereka tidak tahu. Jika saya tidak bersedia menunggu, saya dipersilahkan berobat ke rumah sakit lain. Jika mereka sendiri tidak siap untuk melakukan operasi, lalu mengapa mereka meminta saya melakukan ronsen dan mengambil sample darah? Apakah mereka berusaha mengambil keuntungan dengan tes-tes tersebut untuk ditagihkan ke BPJS? Mereka tahu pasti saya tidak akan bisa dioperasi.

Saya merasa waktu saya mengantri seharian sia-sia. Si perawat menyampaikan bahwa jika diperlukan saya bisa mengambil hasil sample darah dan ronsen saya. Setelah saya meninggalkan rumah sakit kemudian saya sadar, apa hak mereka menahan hasil pemeriksaan saya? mengapa tidak diserahkan saja saat itu?

Rujukan Lagi

Untuk bisa berobat kerumah sakit lain saya harus mengambil rujukan lagi ke klinik Cassa Batu Aji, baiklah, lalu saya mengendarai motor selama 30 menit dan mengambil nomor antrian lagi. Saya menjelaskan pada dokter soal alat anastesi yang rusak tersebut, lalu Dokter mengatakan dia tidak bisa memberikan 2 surat rujukan kerumah sakit dihari yang sama. “Mengapa?” kata saya. “Karena peraturan BPJS memang begitu.

Saya pulang dengan kesal lalu kembali keesokan harinya. Dokter membuat surat rujukan lagi dan saya meminta dia memberikan rujukan ke RS Budi Kemuliaan. Menurut dokter, karena penyakit saya adalah tipe B (tidak terlalu berbahaya) maka dia merujuk saya ke RS Harapan Bunda. Saya meminta dia merujuk ke RS St Elisabeth karena saya tahu RS tersebut bagus pelayanan nya, namun dia menolak karena menurutnya petugas BPJS sudah mencoba mengkonfirmasi ke RS Elisabeth (soal apakah mereka bisa menangani penyakit ini) namun tidak ada yang mengangkat telepon. Karena saya tetap ngotot, dokter mempersilahkan saya sendiri langsung menelepon petugas BPJS, saya kemudian menelepon. Petugas BPJS berjanji akan menelepon RS Elisabeth lagi dan menghubungi dokter di klinik Cassa. Saya menunggu diluar ruangan dokter. 

Beberapa menit kemudian suster datang mengambil surat rekomendasi tersebut dari tangan saya, membawa ke ruangan dokter dan mengembalikannya dengan tulisan RS Harapan Bunda di coret dan dibawahnya ditulis RS Elisabeth. Kalau penggantian nya seperti itu, lebih baik saya yang mencoret dan menulis sendiri tanpa meminta ke dokter, pikir saya jengkel mengingat waktu saya menunggu yang mencapai 30 menit untuk penggantian nama rumah sakit tersebut

Saya segera memacu motor saya dengan cepat ke RS Elisabeth, hari sudah menjelang siang, saya telah menghabiskan terlalu banyak waktu menunggu di klinik.

Di RS Elisabeth saya mendaftar di pendaftaran khusus BPJS, diminta fotokopi KTP dan BPJS masing-masing 1 lembar, seorang admin membantu saya memfoto kopi kan ktp dan kartu BPJS saya denga biaya Rp 1000. Saya langsung ingat RS Cassa Medica yang meminta total 4 lembar foto copy KTP, kartu BPJS dan 1 surat rekomendasi dokter klinik +  3 foto kopi nya. Di Cassa Medica foto kopi saya biayanya 10,000 dan saya foto kopi sendiri ke kantin. Lain padang lain belalang memang

Petugas yang mendaftarkan saya agak lamban dan terlihat tidak yakin karena bertanya-tanya pada rekannya beberapa kali soal pengisian informasi pasien dikomputer.  Setelah selesai saya diarahkan ke klinik bedah dan mereka yang mengantarkan dokumen saya ke klinik. Antrian cukup panjang, saya disana sejak mulai ramai pasien hingga sepi. Seorang Ibu (mungkin lebih tepat disebut nenek) kepo bertanya-tanya soal sakit saya, yang saya jawab sekedarnya saja. Kekepoan nya sempat membuat saya kaget waktu dia bertanya pada seorang wanita disamping saya yang mempunyai biji mata putih, “mau operasi mata ya?” katanya. Si wanita menjawab “bukan bu, mata saya ini sudah dari bayi waktu saya kena campak” katanya menjelaskan. Duh gusti!

Sukurlah giliran saya tiba, dokter pria itu memeriksa saya dan mengatakan kemungkinan benjolan saya ganas (karna tidak nyata) dan harus diperiksa dengan USG, mamografi dan pengambilan sampel sel pada benjolan. Karena RS Elisabeth tidak mempunyai peralatan tersebut, maka saya dirujuk ke RS Awal Bros. Perawat mengatakan saya bisa langsung ke RS Awal Bros dengan memberikan surat rujukan dari dokter RS Elisabeth. Saya segera menuju RS Awal Bros, lalu disana ditolak dengan alasan saya tidak membawa surat rekomendasi klinik. Ya Tuhan! Surat rekomendasi dari dokter bedah RS Elisabeth pun tidak ada gunanya, saya tetap harus ke klinik lagi. Karena saya tahu saya tidak bisa mendapatkan rekomendasi hari itu, saya lalu pulang.

Besok paginya saya ke klinik lagi, mengantri lagi lalu mendapatkan surat dari dokter, segera saya melaju menuju RS Awal Bros. Memulai lagi pendaftaran dari awal, menyerahkan foto copy ktp dan kartu BPJS, lalu mengantri, setelah dipanggil, saya diberikan sebuah formulir untuk dibawa ke bagian poli bedah, disana mengantri lagi. Setelah dipanggil tekanan darah saya dihitung, 97/60, sangat rendah. Kemudian mengantri lagi. 

Saya dipanggil oleh perawat dan langsung diperiksa, karena pemeriksaan ini tidak bisa dilakukan 3 hari sebelum masa menstruasi dan 5 hari setelahnya. Karena saya masih dalam masa itu, maka saya harus menunda pemeriksaan ini. Yang artinya: SAYA HARUS KEMBALI KE KLINIK LAGI UNTUK MENGAMBIL SURAT REKOMENDASI! *pingsan*

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah mampir, silahkan tinggalkan pesan untuk tulisan ini yaa. Terimakasih