December 14, 2009

Catatan Perjalanan Pendakian Argopuro, It's Heaven on Earth - Bagian 2

Untuk melihat Bagian 1 dari catatan perjalanan ini, silahkan lihat di Bagian 1

Mencari Telaga Tunjung (11 April 2006)

Pagi hari, kami membahas topik siapa sebenarnya yang mengajak Gagap dalam pendakian kali ini, setelah penelusuran yang cukup mendalam dengan mengumpulkan informasi dari berbagai pihak, akhirnya tertuduh pertama dan satu-satunya adalah Mas Joko. Kami pun memutuskan untuk memusuhi Mas Joko karena hal itu.


Selesai sarapan, kami bersiap-siap menuju Telaga Tunjung sementara sebagian memutuskan tinggal di Cikasur untuk istirahat. Kaki- kaki mulai menapaki padang rumput dengan santainya, tidak tahu betapa mengerikannya jalur yang akan kami lewati didepan. Apalagi sang turis manca negara yang dengan centilnya memakai celana pendek. Hehehe…

Hanya beberapa menit saja kami berjalan di padang rumput, setelah itu kami memasuki hutan rapat, jalan yang kami lalui kelihatannya sangat jarang dilalui, hal ini terlihat dari pohon-pohon yang menutupi jalur, sang porter yang berjalan didepan, tak henti menebaskan aritnya untuk membuka jalan bagi kami. Daun-daun jelatang mengancam dikanan dan kiri jalan. Terdengar jeritan disana-sini karena dikecup oleh sang daun, betapa malangnya nasib yang bercelana pendek ketika itu. Jalan yang kami lalui sesekali menanjak tetapi lebih banyak menurun. Terpikir betapa berat tanjakan yang akan kami lalui nantinya ketika kami melewati turunan yang panjang.

Kami sudah berjalan 3 jam namun tanda-tanda danau akan kelihatan belum juga ada. Didepan yang ada hanya bentangan hutan yang luas. Siporter pun menjawab 10 menit lagi setiap ditanya. Tiba-tiba didepan kami terlihat tanah bekas longsoran yang sepertinya terlihat sulit untuk dilewati. Mas Joko mengingatkan bahwa, jika waktunya sudah tidak cukup sebaiknya kami kembali saja, mengingat hari sudah sore, akan sulit bagi kami untuk melewati jalan yang tadi kami lewati kalau hari sudah gelap. ‘Kalau masih jauh, balik aja Qim…” kata mas Joko kepada porter kami.

Kembali kami menanyakan pada porter berapa lama lagi akan sampai ke danau tersebut, jawaban yang sama: 10 menit lagi. Dengan sedikit ancaman, kami menayakan apakah benar-benar 10 menit lagi. Si porter mengangguk.

Kami melanjutkan menuju Telaga/Danau. Mungkin lebih dari 10 menit kemudian, kami sampai di sebuah telaga kecil berwarna merah. Aku senang sekali, menyangka itulah danau/telaga yang kami tuju. Segera aku berteriak-teriak memanggil yang lain, memberitahukan bahwa aku sudah melihat telaga. Mustaqim malah menunjuk kedepan mengatakan bahwa masih ada telaga lain. Hanya beberapa meter jaraknya dari telaga merah, telaga Tunjung membentang dibalik pohon-pohon. Kami senang sekali akhirnya menemukan telaga itu. Agak sulit mendekatinya karena pinggirannya yang tidak kering. Kalau kami pulang tanpa menemukan telaga ini, tentu kami akan kecewa sekali, apalagi badan sudah capek dihajar jalur yang begitu rapat dan setruman daun Jelatang. Namun saat menemukan telaga itu, perasaan penasaran hilang, rasa capek terobati.

Hanya sebentar kami disana mengabadikan telaga Tunjung, kami kembali menuju Cikasur dengan tergesa-gesa karena takut kemalaman. Apalagi Ndodro yang selalu mewanti-wanti agar kami bergerak cepat, agar tidak kemalaman.

Hujan turun, membuat kami segera mengeluarkan rain coat. Saat itu Kris baru menyadari membawa ia membawa sebuah celana rain coat yang dibiarkannya menganggur waktu berangkat tadi, sementara kaki Nana dihajar daun Jiancuk. Teganya dikau Kris…

Perjalanan kembali terasa berat karena tanjakan-tanjakan, namun Mustaqim tidak perlu menebas-nebas lagi, sehingga perjalanan jadi lebih singkat. Perasaan lega hadir ketika melihat bentangan padang rumput menghampar, dan kami tidak kemalaman seperti yang dikhawatirkan semula. Jalur yang rapat dan menanjak sudah lewat. Kamipun istirahat sebentar, sambil menyalurkan bakat-bakat model kami.

Hari menjelang malam, namun pemandangan menjelang Cikasur sangat indah, padang rumput, bukit dikejauhan dan bula purnama yang bulat sempurna muncul diatasnya. “Pemandangan ini nggak akan aku lupakan seumur hidup” kataku pada Nana dan Mbak Titik.

Sesampainya di Cikasur, aroma wangi bumbu dapur menyambut kami, kabar angin yang mengatakan bahwa malam ini sang pemburu tua akan berbaik hati, memanjakan perut kami dengan nasi liwetnya yang terkenal kelihatannya akan menjadi nyata. Segera kami mendekati sang pemburu yang sedang memasang wajah konsen didepan kompor. Benar saja, beberapa nesting nasi liwet sudah duduk dengan manisnya didekat sang pemburu, dan ada juga yang masih diolah.

Tidak lama kemudian kami sudah berhadapan dengan nasi liwet dipiring masing-masing lengkap dengan selada air tumis. Rasa capek tertebus dengan nikmatnya hidangan malam itu.



Menuju Cisentor (12 April 2006)

Hati agak berat untuk meninggalkan Cikasur yang indah, tapi kami tetap harus berjalan. Dan kamipun menuju Cisentor. Perjalanan masih seperti hari sebelumnya, melintasi padang rumput dan sedikit tanjakan, sekitar jam 12.00 kami sampai di Cisentor. Kamipun beristirahat dan makan siang. Diputuskan untuk menuju puncak hari itu.

Menuju Puncak

Perjalanan cukup berat sesungguhnya dimulai dari Cisentor menuju puncak. Tanjakan terjal tidak pernah diselingi “bonus”. Hujan kembali turun seolah mempertegas bahwa tidak akan ada hari tanpa hujan dalam perjalanan kali ini.

Disini aku merasakan beratnya berjalan didepan mas Joko yang dengan segera berkata “ayo, jalan terus! Begitu kita berhenti. Wajah memelas pun dipasang meminta belas kasihannya, tapi dia tetap berkata “ayo, jalan terus! Sambil sesekali ditambahi kata-kata “ ntar kemaleman!” Waktu itulah aku dan Nana menabalkan julukan baru buat mas Joko sebagai “kakak senior”. Segera kami mencari alasan supaya bisa jalan dibelakangnya saja. Karena tak ada istirahat yang aman ketika bersama Ndodro

Diperjalanan tak hentinya aku melihat kekiri dan kekanan, memperhatikan setiap belokan atau percabangan jalan yang mungkin bisa membuat pendaki salah jalan. Mengingat ransel Vincen ditemukan didaerah Cisentor, tentunya ia hilang dalam perjalanan dari Cisentor ke puncak atau dari puncak ke Cisentor. Jalan terlihat dengan jelas. Apakah waktu itu kabut? apakah pengelihatannya yang kurang membuatnya salah jalan. Dijalur terlihat beberapa marker tim SAR yang mencari Vincen. Dalam marker tertera bahwa sistim pencarian yang dilakukan oleh pemulis marker itu adalah “tracking mode”. Menilik dari namanya, orang yang menulis marker itu mencari dengan cara mengikuti jalan-jalan setapak.

Menjelang puncak kami melihat batu-batu yang disusun rapi yang konon adalah runtuhan candi. Tapi batu-batu tersebut tidak terlihat seperti batu candi pada umumnya. Apakah para pejiarah menyusun batu-batu tersebut sebagai usaha untuk membuat candi atau tempat pemujaan lainnya? Apakah benar susunan batu-batu itu runtuhan candi?

Kami sampai di puncak Rengganis jam 16.30. Pemandangan khas puncak gunung tersuguh, langit biru, awan, dan hamparan pegunungan. Kami saling bersalaman, mengucapkan selamat satu sama lain karena telah berhasil mencapai puncak. Masing-masing sibuk mengabadikan saat itu dengan foto dan handycam, berpose sendiri, berdua atau beramai-ramai. Diam-diam aku menaruh secarik kertas yang dibungkus dengan plastik diantara batu-batu. Sebuah doa tertulis dalam kertas itu untuk Vincen. Diantara hiruk pikuk kami, aku menjauh sejenak, mengucapkan doa untuk Vincen. Tuhan…dimanapun ia berada, semoga ia besertaMu..

Pemandangan segera berubah kemudian, kabut mulai menyelimuti dan kamipun bergegas turun. Jam menunjukan 17.30 ketika kami sampai di pertigaan Rengganis, Argopuro dan Jalan turun. Malam menjelang. Setelah berunding singkat, kami membagi menjadi 2 kelompok, sebagian tim ingin melanjut ke puncak argopuro, sebagian lagi memutuskan langsung turun. Kami berpisah dipertigaan itu.

Kami yang turun kembali ditemani hujan dan kabut. Malam sudah turun. Entah karena badan sudah capek, entah karena tak ada janji sebuah puncak lagi di tempat yang kami tuju, perjalanan menuju Cisentor terasa panjang dan lama dibandingkan ketika menuju puncak tadi. Aku berfikir bahwa ketika sudah dekat Cisentor akan terdengar suara air sungai, namun suara air yang ku tunggu-tunggu tak juga terdengar. Lama sekali rasanya hingga akhirnya suara air terdengar dikejauhan, kamipun mempercepat langkah. Namun perkiraan bahwa kami akan sampai di Cisentor ternyata salah, tikungan demi tikungan masih saja ada. Berjalan malam memang jauh dari nyaman,apalagi ditemani hujan dan kabut. Meski berjalan terus, dingin tetap saja menggigit kulit kami.

Sekitar jam 19.30 kami sampai di Cisentor. Kami mendapati Mustakim sedang meringkuk dengan hanya diselimuti sarung di pondok. Segera aku menyapa dan menanyakan apakah dia sudah makan, dia langsung bangun sambil menjawab bahwa ia belum makan. Rian sedang masak didalam tenda dan memberikan welkam drink teh manis. Budi dan aku mendirikan tenda, ketika tenda sudah hampir selesai, Budi segera menyuruh aku mengganti pakaian yang basah. Malam itu memang luar biasa dingin. Dipondok, aku melihat Bang Asdath sedang masak ditemani Mustakim. Tim yang muncak ke Argopuro tiba sekitar jam 21.00. Semua kembali bergabung menjadi satu.

– catatan perjalanan ini kurang lengkap catatan waktunya karena aku ga bawa jam tangan gara2 talinya putus, akhirnya buta waktu deh. bagian yang ada waktunya itu karena aku nanya-nanya jam ke yang laen.

-catatan perjalanan pulang akan di posting di babak berikutnya, karena selain belum selesai, aku juga sengaja membagi jadi dua bagian supaya nggak kepanjangan

-catatan perjalanan ini tidak cocok untuk referensi buat teman2 yg akan mendaki ke Argopuro, karena memang tidak memuat data2 soal waktu pendakian, transportasi atau data ilmiah lainnya

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah mampir, silahkan tinggalkan pesan untuk tulisan ini yaa. Terimakasih