Backpacking ke Cambodia (Kamboja) - Bagian 1
Menuju Siem Reap
Saya memesan tiket bis dengan
harga 400 baht atau 160 ribu rupiah melalui hostel saya, katanya saya akan
dijemput sekitar jam 8 dan saya harus sudah stand by jam jam 7.30. Seperti
biasa saya sudah terbangun sejak jam 5 dan sudah grasak grusuk sendiri
mempersiapkan keberangkatan sementara kamar dorm gelap tanpa lampu. Saya memang
sudah packing malamnya, tapi peralatan mandi dan baju yang saya pakai tidur
kemarin harus saya pack lalu dimasukkan kedalam ransel. Saya rasa penghuni lain
kamar itu ada yang mengutuk dalam hati dengan segala bunyi kresek-kresek yang
saya timbulkan.
Jam 6 lewat saya sudah keluar
mencari sarapan, dan saya heran melihat jalanan seputaran Khao San Road sepi
dari pedagang makanan, saya pikir saya kepagian. Saya jalan-jalan ke Khao San
Road untuk melihat makanan apa yang ada disana, tapi juga tidak ada, setelah itu
saya kembali ke hostel dan bertanya ke reception mengapa jalanan sepi dari
penjual makanan, diberitahu bahwa memang tutup 2 kali dalam sebulan setiap
hari Senin. Apes banget dah, padahal karna udah hari terakhir saya niat
makan-makan yang enak-enak dan bawa bekel makanan buat di bis yang banyak.
Akhirnya saya makan mi disalah satu ruko dan kembali ke hostel.
Saya menunggu sampai jam 8.10
tidak ada bis yang menjemput, sementara 2 cewek yang sekamar dengan saya sudah
dijemput bis mereka, rupanya kami menggunakan travel agent yang berbeda. Seorang cowok asal inggris juga masih menunggu bersama saya. Sekitar jam 8.30, seorang cowok yang mengaku dari travel
datang menjemput kami, dia naik motor dan mengarahkan kami untuk mengikutinya
dengan berjalan kaki, jaraknya sekitar 400 meter. Kami diminta menunggu dipinggir jalan, saya bilang ke orang yang
menjemput kami: I think we will pick up by bus from hostel. Dia menjawab ‘you want to go or
not? You have to wait here! Saya hanya bisa melongo dengan keketusan pria itu
Kami menunggu dan terpanggang matahari dijalan itu dengan
beberapa orang lainnya hingga jam 10, saya tidak tahu
apakah mereka menunggu bis yang sama, mereka saling mengobrol, saya sibuk
menghabiskan sisa pulsa saya untuk telepon emak dan buka-buka internet. Akhirnya
bis datang, mini bis sebesar L-300 langsung terisi penuh dan cuma saya saja
yang berkulit coklat sodara-sodara. Saya duduk dibelakan supir,
disebelah saya sepasang kekasih yang sepertinya berbahasa spanyol atau italia
(saya masih sering salah menebak ke-2 bahasa ini). Karena mereka selalu ngobrol
berdua, saya hanya diam sepanjang perjalanan, padahal dibelakang saya dengar
mereka saling kenalan dan bertukar cerita soal trip masing-masing. Saya main permainan
tebak aksen dengan diri saya, setiap ada yang berbicara saya menebak orang itu
asalnya dari mana, setelah mereka bertanya asal masing-masing baru ketahuan
tebakan saya benar atau tidak.
Sekitar jam 3 mobil berhenti
disebuah rumah makan, kami diminta menunjukkan tiket masing-masing, semua
menyerahkan kecuali seorang cowok, rupanya waktu tanda bayar diminta dan
ditukarkan dengan tiket, cowok ini tidak mendapat tiket dan dia tidak menyadari
bahwa itu akan penting nantinya, dia naik ke bis dan mobil berangkat. Siapa
kira tiket akan diperlukan lagi? Si pria yang meminta tiket menekan dia dengan
ucapan-ucapan yang ketus, seakan-akan cowok itu bohong, saya berfikir, apa dia
sering dibohongi bule yang naik diam-diam ke suatu bis dengan gratis? Mengapa
begitu ketusnya? Saya berusaha membantu dengan menjelaskan padanya kalau ke pria itu tadi dijemput dan
menunggu bis bersama saya. Si pria tetap ngotot dia tidak bisa mentransfer jika dia tidak punya tiket untuk
bukti yang akan digunakan menagih ke travel asal Thailand. Si bule mengeluarkan
kartu nama tempat dia membeli tiket itu.
Sampai disana ceritanya saya ditarik dari tempat duduk saya dan diajak ke sebuah ruangan, saya bingung sebenarnya tapi tetap mengikuti si pria yang memanggil saya.Di ruangan itu ada seorang pria duduk dengan gaya bak petugas imigrasi, mengatakan bahwa saya kalau mau masuk negara mereka (Kamboja) harus bayar 100 baht. Saya bilang, saya tidak pernah dengar hal itu, saya berasal dari negara Asean dan bebas masuk ke negara asea tanpa membayar. Nampaknya mereka berusaha mendapatkan uang dari saya dengan menguruskan visa
Sampai disana ceritanya saya ditarik dari tempat duduk saya dan diajak ke sebuah ruangan, saya bingung sebenarnya tapi tetap mengikuti si pria yang memanggil saya.Di ruangan itu ada seorang pria duduk dengan gaya bak petugas imigrasi, mengatakan bahwa saya kalau mau masuk negara mereka (Kamboja) harus bayar 100 baht. Saya bilang, saya tidak pernah dengar hal itu, saya berasal dari negara Asean dan bebas masuk ke negara asea tanpa membayar. Nampaknya mereka berusaha mendapatkan uang dari saya dengan menguruskan visa
Baiklah katanya, saya disuruh
keluar dan melanjut naik bis L-300 yang berbeda bersama 1 orang cowok yang
sejak awal dijemput bersama saya dari hostel. Kami rupanya dibawa keperbatasan,
sampai diperbatasan saya diberi kode untuk keluar, dia mengucapkan “stamp
paspor” yang membuat saya mengerti kalau saya berhenti disini untuk proses
stempel paspor, supirnya tidak bisa berbahasa inggris. Saya kebingungan keluar
dari bis karena tidak melihat petunjuk apapun yang mirip gedung imigrasi atau
turis mengantri. Saya berjalan kedepan sekitar 200 meter, melihat 2 orang bule
dan bertanya dimana saya bisa stempel pasport? Mungkin disana, katanya menunjuk
kesebuah tempat.
Saya jalan kearah orang-orang
berdiri, rupanya mereka sedang berjalan menuju gedung imigrasi Thailand. Saya
langsung ikut mengantri, setelah tiba giliran saya, saya malah dikasi tau kalau
warga negara bukan Thailand stempel di lantai 2. Saya naik kelantai 2 dan
ngantri lagi, diantrian saya dengar ada yang berbahasa Indonesia tapi malas
untuk menyapa. Setelah selesai saya keluar gedung dan berjalan kedepan, tidak
ada nampak gedung imigrasi Kamboja. Saya melihat seorang yang (sepertinya)
berpakaian polisi atau petugas imigrasi, mereka mengarahkan saya kedepan, saya
berjalan terus dan melihat antrian panjang bule-bule, langsung saya mengekor
dibelakang mereka. Perasaan saya tenang setelah ada dalam kumpulan itu, rupanya
saya sendiri karena saya dari ASEAN sendiri, yang proses visanya berbeda.
Antrian bergerak lambat,
petugas Cuma 2 orang, saya naro ransel saya ditanah, kegagahan saya langsung
hilang kalo sudah berdiri-berjam-jam memanggul ransel. Didepan saya sepasang
bule asyik berciuman tak berhenti-berhenti, asem! Pemandangan yang cukup asem
buat jomblowati akut seperti saya. Tapi memang pasangan itu ada disana biar
saya punya kenangan sendiri soal perbatasan Thailand-Kamboja ini
Selama ngantri, saya tidak
melihat orang-orang yang sebis dengan saya, apakah saya ditinggalkan? Apakah
mereka menunggu saya? Dimana? Saya cemas, tapi ketika saya memikirkan
kemungkinan tertipu dan tidak ditunggu, saya berfikir saya bisa naik bis lain
dan membayar. Tidak terlalu buruk, setelah saya menemukan solusi untuk
kemungkinan ditinggal, saya jadi santai dan..kembali musti lihat pemandangan
“asem” tadi
Sekitar jam 5 stamp paspo
selesair, saya mengikuti arah kerumunan berjalan, rupanya bis-bis berjejer
didepan sebuah gedung. Saya mengenali seorang pria yang ada di restoran tempat
saya terakhir dipisahkan dari teman-teman sebis, dia menunjuk bis besar
menyuruh saya naik kesana. Saya naik ke bis dan mencari tempat duduk kosong,
seorang cewek mungil duduk sendiri, saya bertanya apakah tempat duduk itu
kosong, dia bilang iya. Cewek itu bernama Jessica, berasal dari Brazil, dialah
yang akan jadi travel mate saya sejak saat itu hingga Ho Chi Minh.
Kami mulai ngobrol soal hal-
hal yang biasa ditanyakan kepada sesama turis lain, sudah jalan kemana aja
dalam trip ini dan akan kemana. Dia sudah 1 bulan di Asia, dia memulai
perjalanan dari Australia karena dia sedang kuliah disana, dia mulai perjalanan
nya dari yang dekat, yaitu Indonesia (Bali), kemudian malaysia, Singapore,
Thailand, dia akan ke Kamboja, dan Vietnam, lalu Hongkong dan Jepang. Jadi kami
menuju 2 negara yang sama yaitu Kamboja dan Vietnam.
Kami sama-sama berharap tiba di
Siem Reap sebelum hari gelap, namun kami sama-sama tau, sepertinya itu tidak
mungkin, melihat jalanan yang sepertinya masih dipedesaan, dikiri-kanan jalan
banyak sawah dan ladang. Mobil berjajalan lambat sekali, sekitar 30 km/jam.
Saya jadi ingat gaya emak saya kalo bawa motor dan saya mengomel dibelakang
karena tak sabar. Saya bercanda ke Jessica bahwa saya bisa berlari disamping
mobil ini dan saya lebih cepat
Sepanjang perjalanan dari
Bangkok, mobil tidak berhenti untuk makan siang dan saat itu menjelang jam 7
malam, saya sangat kelaparan. Jessica juga bilang bis nya tidak berhenti
dijalan untuk makan siang, aneh. Sekitar jam 7 malam bis kami yang jalannya
seperti putri solo berhenti disebuah restoran yang dikelilingi sawah. Kami
memilih menu dan melihat harga ditulis dengan US Dollar, inilah Kamboja, pikir
saya. disebuah meja duduk si cowok bule yang bermasalah dengan tiket tadi, dia
melihat ke saya, tapi saya lupa-lupa ingat siapa dia, setelah duduk menunggu
makanan kemudian saya baru ingat siapa dia, rupanya dia berhasil mendapatkan
bis ke Cambodia, entah bagaimana caranya, semoga dia tidak perlu membayar lagi. Saya memesan nasi goreng ayam seharga $ 3,5.
Sepasang turis asal Italia permisi untuk duduk dimeja kami karena semua meja
terisi, si cowok tidak bisa berbahasa inggris dan si wanita membantu
menterjemahkan untuk kami. Si cowok melucu dengan menggaruk-garuk nasinya dan
mencari daging ayam, dia lalu mempraktekkan ayam terbang, maksudnya, tidak ada
ayam di nasi gorengnya karena terbang pergi, lucu sekali. Pasangan ini juga
cukup nekat, mereka belum ada booking hotel di Siem Reap
Kami melanjutkan perjalanan
dengan perut kenyang. Sekitar jam 8 kami tiba di Siem Reap dan langsung diserbu
pengemudi tuk-tuk, mereka menawarkan untuk tur ke Angkor dihari berikutnya,
karena saya baca harga tur ke Angkor harganya $ 12, saya menawarkan harga itu,
tapi nampaknya harga sudah berubah, atau karena sekarang sedang musim liburan
(high season). Akhirnya kami mendapat harga $ 15 dan diantar ke hostel gratis
walau saya dengan Jessica menginap di hostel yang berbeda.
Kami janjian untuk ke Angkor
jam 11 siang karena Jessica bilang dia tidak cukup tidur malam sebelumnya jadi
pengen tidur sampai siang. Saya tidak keberatan.
Saya diantar ke One Stop
Hostel, cukup bagus dan sangat ramai, saya pesan kamar di 6 bed dorm. Saya
sempat ngobrol dengan seorang cewek asal Cina yang bahasa inggrisnya payah
sekali. Dia sudah berbulan-bulan menginap dikamar itu karena dia bekerja dengan
saudaranya. Malam itu karena capek saya cuma keluar untuk beli minum, tapi
karena melihat ada tulisan “night market” besar dan bercahaya, saya melipir
sedikit kesana padahal tidak membawa uang. Walau naksir barang-barangnya saya
tidak bisa beli, saya bilang kepenjualnya saya akan kembali. Boro-boro kembali,
saya kehilangan orientasi ketika mau kembali ke hostel, karena ternyata tulisan
“night market” ada banyak, saya nanya-nanya pun tidak ada yang tau dimana One
Stop Hostel (atau mungkin mereka tidak mengerti). Setelah berputar-putar,
akhirnya saya bisa balik ke hostel dan tidur dengan nyenyak sekali.
30 Desember 2014
Saya bangun dan langsung keluar
mencari sarapan. Saya membeli yang tercepat saja, yaitu roti perancis isi
daging ayam seharga $ 1. Saya harus menemukan tempat menginap sebelum saya
berangkat ke Angkor, karena prubahan jadwal perjalanan saya, saya terpaksa
menggeser bookingan hostel saya kehari yang lain, tapi rupanya saya dikenakan
tarif baru walau kamarnya sama, karena jengkel, saya cancel saja dan mengambil
One Stop Hostel, tapi hostel ini hanya bisa saya book 1 hari saja karena penuh
dihari berikutnya. Saya bertanya ke resepsionis kemana saya bisa mencari
hostel, dia menunjuk kearah belakang hostel tapi saya tidak menemukan apa-apa.
Saya balik ke hostel dan mencari hostel yang kosong melalui komputer yang
disediakan untuk tamu, kebanyakan hostel penuh. Saya menemukan sebuah hostel
yang punya kamar kosong, melihat posisi mereka di google map, dan menanyakan
kepada resepsionis dimana letaknya.
Saya berjalan dan mulai mencari
kearah belakang One Stop Hostel, belum jauh berjalan, saya malah menemukan
sebuah hostel lain yang menyediakan ruangan dorm dengan harga $5, namanya Boutique Dormitory Konchi-Ke, segera saya bertanya apakah ada kamar
untuk saya, ternyata ada. Saya langsung bayar untuk 2 malam. Saya kembali ke
One Stop Hostel, lalu mandi dan packing. Lalu saya membawa semua barang ke
hostel ang baru dan meminta kunci. Resepsionis cowok yang berasal dari jepang
itu tidak mengenali saya, saya bilang saya yang tadi booking hostel, dia
melihat saya kebingungan. Saya mengeluarkan kuitansi pembayaran saya dan dia
langsung ingat, katanya karna rambut saya beda makanya dia tidak mengenali
saya, padahal saya Cuma keramas! :-/
Sudah menjelang jam 11, saya ke
One Stop Hostel untuk Check out dan meminta uang jaminan kunci sejumlah $2, dan
duduk menunggu tuk-tuk menjemput, sambil online di komputer lagi (karena
janjian dengan supir tuk-tuk di One Stop Hostel). Saya kabarin Jessica lewat
Whatsapp kalau saya sudah menunggu, waktu jam 11 saya bilang ke dia kalau
tuk-tuk tidak datang, saya akan mencari tuk-tuk lain, dia setuju. Rupanya
tuk-tuk datang menjemput Jessica duluan lalu menjemput saya. Kamipun menuju
Angkor, singgah membeli tiket untuk 1 hari seharga $ 20, dilengkapi foto
masing-maing yang diambil saat itu juga. Waktu sampai didepan Angkor Wat, hari
sudah menjelang jam 12 siang dan kami kelaparan. Karena tau waktu menjelajahi
Angkor tidak sebentar, kami memutuskan untuk makan dulu.
Kami mendatangi restoran
disekitar, tapi harganya bikin hidung kami kembang kempis, makanan seperti nasi
goreng atau mi berkisar antara $ 6 sampai $ 10. Kami memeriksa menu 3 buah
restoran, harganya hampir sama. Kami bergeser ke restoran kecil semacam warteg
dan harga nasi gorengnya $ 4, kami menawar nasi goreng itu $ 3, dan si ibu
setuju. Untung saya bawa air botolan jadi tidak perlu bayar minum, Jessica
harus bayar coke kalau nggak salah ingat $ 1,5. Nasi gorengnya rasanya sama aja kayak nasi goreng yang kita beli dipinggir
jalan dengan harga 8 ribu atau 10 ribu perak di Indonesia.
Mulai kami sampai didepan
Angkor, penjual tidak henti-hentinya membuntuti kami untuk menawarkan dagangan,
ada yang menjual celana “aladin” ada yang menjual syal, buku, dan mainan
anak-anak. Pedagangnya nya ibu-ibu dan anak-anak yang menjual dengan cara
menhiba-hiba, mengganggu sekalikarena mereka tidak mau pergi walau kita sudah
memberi kode “tidak”
Setelah makan kami langsung
menuju Angkor yang ada di tempat kami makan, pengunjung ramai, tapi saya yakin
lebih ramai dipagi hari yang karena banyak yang ingin melihat sunrise. Yang
kami temui ketika itu mungkin orang-orang yang sejak pagi sudah ada disana
Kita disambut semacam lapangan
yang luas didepan angkor, ada semacam danau yang indah disekelilingnya, dan ada
juga kolam didepannya. Lalu ada bangunan kecil semacam pintu masuk kedalam,
kami seperti dibawa kejaman abad ke 13 ketika candi ini masih digunakan untuk
upacara-upacara keagamaan. Angkor terlihat sangat tua, banyak lumut hitam
dibatu-batunya, itulah yang membuat kita merasa tempat ini sangat tua, padahal
candi itu dibangun pada abad ke 13, bandingkan dengan candi Borobudur yang
dibangun pada abad ke 8, tapi terlihat lebih “muda”. Eh saya harus buat pengakuan
kalau saya belum pernah ke borobudur *tersapu-sapu malu*, tapi prambanan udah
kok ;).
Ada beberapa bagian tempat
diluar candi yang teduh karena tertutup bayangan bangunan candi, yang membuat
kami membayangkan piknik disana, menggelar tikar, duduk atau tidur-tiduran
sambil makan cemilan. Kami melihat ada orang yang tidur-tiduran disalah satu
teras candi, alangkah nikmatnya. Kalau tidak mengingat tuk-tuk yang sedang
menunggu, dan masih banyak candi lain yang menanti untuk kami lihat, pasti kami
ikut tidur-tiduran.
Kami melihat kesemua sudut dan
berfoto-foto sekitar 2 jam, untuk memasuki bagian tertinggi candi kami dicegat
karena Jessica memakai celana pendek dan baju tanpa lengan, jadi saya naik
sendiri melalui tangga yang curam. Setelah itu kembali ke pengemudi tuk-tuk
yang langsung membawa kami ke candi lain yang berbentuk wajah-wajah.
Wajah-wajah tersenyum ini sudah lama memukau saya lewat foto-foto, akhirnya
saya bisa lihat dengan mata sendiri.
Selanjutnya Angkor Tom, candi
ini terkenal karena menjadi salah satu set shooting film Tomb Rider yang
dibintangi Angelina Jolie, hal yang paling menonjol dari candi ini adalah
akar-akar pohon yang tumbuh diantara batu-batu candi.
Saya ingat ada 4 candi yang
mustinya kami kunjungi, tapi saya tidak berminat lagi melihat yang ke-4,
pengemudi tuk-tuk kami sudah menunggu dan tidak menyinggung soal candi ke-4 dan
saya juga tidak bertanya, sore sudah hampir habis. Kami naik ke tuk-tuk dan
menikmati suasana sore yang tenang dari tempat duduk kami, dijalan kami melihat
danau yang mengelilingi Angkor indah sekali. Sesampainya di hostel, saya dan
Jessica berjanji untuk makan malam bareng dan melihat-lihat pasar malam
Lewat whatsapp kami berjanji
bertemu di depan Hard Rock Café, lalu kami makan dan minum jus yang kami beli
dengan harga $ 1 dipinggir jalan dan duduk di sebuah cafe yang menyediakan
tempat duduk diluar, kami berharap tidak diusir tapi kalaupun diusir kami siap
karena tidak akan rugi apa-apa :p. Dan ternyata kami aman saja santai-santai
disana, walau beberapa kali pelayan keluar dari pintu kami sudah merasa cemas
akan diusir. Didepan café banyak pengemudi tuk-tuk menawarkan jasa pada setiap
turis yang keluar, mereka cukup ramah menolak ataupun menawar harga.
Selesai
minum jus, kami melihat-lihat barang yang
dijual disekitarnya, hampir sama dengan apa yang dijual dibangkok, tapi
disini saya melihat banyak perhiasan perak. Sekali bertanya sudah cukup membuat
saya malas untuk membeli, sebuah cincin yang sangat tipis ditawarkan $ 20. Di
indonesia saya bisa mendapatkan dengan harga $ 4 barangkali. Begitu saya
melengos, sipenjual langsung menyebut $ 16. Saya sudah kehilangan selera.
Memasuki beberapa toko perak hal yang sama terjadi lagi.
Kami mendengar musik
yang keras dan mencari asal musik itu. Rupanya musik itu datang dari sebuah
tempat, saya tidak tahu namanya pub/club/ atau bar. Kami masuk dan melihat
ramai orang berdansa, kebanyakan, kalau lihat tampangnya sepertinya
mereka turis dari Asia (mirip orang Indonesia), bisa juga penduduk
lokal. Ada juga bule tapi mereka tidak seheboh yang saya sebut tadi. Kami ikutan goyang-goyang tubuh disana
beberapa jam. Lalu pulang ke penginapan kecapean. Olah raga yang paling
menyenangkan buat saya selama beberapa bulan terakhir ini
Catatan selanjutnya bisa dilihat disini
Catatan selanjutnya bisa dilihat disini
0 comments
Terimakasih sudah mampir, silahkan tinggalkan pesan untuk tulisan ini yaa. Terimakasih