Jalan-Jalan (Backpacking) ke Beijing - Bagian 1
Saat saya merencanakan perjalanan ini saya sedang tinggal dan bekerja di
Suzhou, Povinsi Jiangsu. Perjalanan ke Beijing akan
menjadi perjalanan terakhir saya di Cina, karena saya akan kembali ke
Indonesia, saya tentunya tidak ingin meninggalkan Cina sebelum melihat tembok
yang terkenal itu
Sebenarnya saya
pernah membuat rencana untuk ke Beijing dengan seorang rekan kerja yang adalah
cewek asal Suzhou, pastinya akan banyak
membantu karena saya tidak bisa
berbahasa mandarin. Tapi apalah daya akhirnya dia pindah kerja dan jadwal
travelling saya tidak cocok dengan jadwal dia yang nota bene karyawan baru,
yang pastinya tidak mudah untuk cuti.
Akhirnya saya memberanikan diri untuk berangkat sendiri, 1
tahun di Suzhou sudah membuat saya terbiasa nyasar, bertanya sepatah 2 patah
kata mandarin yang saya tau: ni ce tau (apakah kamu tau?) wo pu ce tau (saya tidak
tau). Kadang saya harus menelepon teman saya untuk mencari arah atau
memberitahu saya harus naik bis apa untuk kembali ke apartemen. Sering kali
itupun harus dilakukan dengan memberikan telepon ke orang disekitar saya yang
tidak saya kenal, untuk memberitahu teman saya lokasi saya saat itu, ribet kan?
Yah memang, tapi pastinya saya mampu bertahan 1 tahun disana, di negri yang
tidak saya pahami bahasanya. Saya sering bertandai-andai sekiranya ada software
yang bisa di download ke otak saya supaya saya bisa mengerti sedikit :-/
Untuk menyusun rencana perjalanan, saya banyak menggunakan sumber-sumber online seperti tripadvisor untuk objek wisata
yang dituju, dan website pariwisata cina
yang dikelola pemerintah, informasinya cukup update lho. Saya bisa mendapatkan
informasi jalur bis, jalur MRT dan lama perjalan dari web-web tersebut. Saya
mencatat detail transportasi menuju tempat yang saya tuju, nama tempat tersebut
dalam bahasa mandarin dan huruf pinyin
(huruf cina) nya. Mancatat pengucapan dalam bahasa mandarin dan huruf pinyin sangat berguna jika saya nyasar, saya harus menyebutkan nama
mandarin tempat yang saya tuju atau menunjukkan huruf pinyin tersebut agar mereka bisa menunjukkan arah. Menyebutkan nama tempat
dalam bahasa inggris jarang dipahami penduduk setempat
(kecuali bagi mereka yang bisa berbahasa inggris tentunya, yang sangat jarang
saya temui)
Nama-nama tempat yang akan saya kunjungi adalah sebagai
berikut:
1. The great wall/tembok cina
2. Tiananmen Square
3. Olympic Stadium/ Bird Nest (stadium olimpiade yang berbentuk sarang burung)
4. Summer Palace
5. Forbidden Palace
6. National Museum of China
7. Beijing Capital Museum
8. Hutong (Old Street)
9. Hou Hai, tempat nongkrong malam, life music, makan dan minuman
10. Sanlitun, masih area hiburan malam
11. Wudaokou, commercial center tempat belanja
Saya memang hanya 6 hari disana, tapi saya membuat daftar
yang lebih banyak sekiranya saya punya waktu lebih, atau saya bisa mengunjungi
lebih dari satu tempat dalam 1 hari. Saya
mencatat detil “how to get there” atau “bagaimana cara menuju kesana ke semua
tempat ini dalam buku catatan saya
Tidak lupa saya memperhatikan ramalan cuaca disana, karena Beijing berada dibagian utara, cuacanya lebih dingin dibandingkan Suzhou yang sudah menikmati sedikit matahari ketika itu (Maret). Ramalan cuaca memperkirakan cuaca siang terendah 11 derajat dan tertinggi 17 derajat. Sedangkan cuaca malam antara -1 hingga 5 derajat. Saat itu Suzhou bahkan sudah mencapai 20 derajat pada siang hari
Tidak lupa saya memperhatikan ramalan cuaca disana, karena Beijing berada dibagian utara, cuacanya lebih dingin dibandingkan Suzhou yang sudah menikmati sedikit matahari ketika itu (Maret). Ramalan cuaca memperkirakan cuaca siang terendah 11 derajat dan tertinggi 17 derajat. Sedangkan cuaca malam antara -1 hingga 5 derajat. Saat itu Suzhou bahkan sudah mencapai 20 derajat pada siang hari
Done!
Kereta
Saya berencana menggunakan kereta api yang merupakan pilihan transportasi sangat bagus di
sana. Saya memeriksa jadwal
kereta secara online dan memilih yang sesuai dengan
jadwal perjalanan. Berangkat malam jadi pilihan supaya saya tiba pagi di Beijing.
Saya memutuskan untuk membeli tiket kereta kelas ekonomi karena murah, dengan harapan kereta cukup nyaman. Dalam perjalananan ke
Nanjing dan Shanghai, saya sudah merasakan betapa bagus dan cepatnya kereta
kelas D, jadi menurut saya ketika itu, kereta ekonomi mungkin bukanlah pilihan
yang jelek-jelek amat. Mungkin tak seburuk kereta ekonomi di Jawa, pikir saya, bahkan
kereta ekonomi dijawapun saya bisa naiki dan sampai ditujuan dengan tubuh utuh.
Perjuangan Membeli Tiket
Pramugari kereta Beijing dengan kostum musim dingin |
Perjuangan Membeli Tiket
Saya mencatat nama dan jadwal kereta yang saya mau dan pergi
ketempat penjualan tiket. Dan pembelian tiket ini membutuhkan perjuangan
tersendiri karena penjaga counternya TENTU SAJA tidak bisa berbahasa inggris.
Dengan bahasa tubuh dan bantuan beberapa orang mahawiswa yang kebetulan ada
disana, saya berhasil membeli tiket ekonomi pp (Walau kemudian pulangnya tiket saya ganti menjadi tiket speed train)
Penginapan
Saya memilih sebuah hostel ditengah kota bernama Beijing Heyuan International youth Hostel dan memilih kamar dengan penghuni 6 orang (shared room) dengan harga 70 Yuan/malam, atau sekitar Rp. 100.000/malam. Saya melakukan pembayaran dengan bantuan teman, dengan memakai kartu kreditnya. Saya mendapatkan konfirmasi melalui email dan juga melakukan komunikasi dengan pihak hostel mengenai bagaimana cara saya menuju kesana.
Beijing Heyuan International youth Hostel |
Saya memilih sebuah hostel ditengah kota bernama Beijing Heyuan International youth Hostel dan memilih kamar dengan penghuni 6 orang (shared room) dengan harga 70 Yuan/malam, atau sekitar Rp. 100.000/malam. Saya melakukan pembayaran dengan bantuan teman, dengan memakai kartu kreditnya. Saya mendapatkan konfirmasi melalui email dan juga melakukan komunikasi dengan pihak hostel mengenai bagaimana cara saya menuju kesana.
Saya naik kereta kelas ekonomi
jam 19.06, harga kereta 170 Yuan atau sekitar Rp. 255.000, dengan membawa
satu ransel berukuran 40-50 liter dan 1
daypack tempat laptop dan berbagai kebutuhan saya selama dijalan. Saya tidak
bisa membawa sedikit pakaian karena
cuaca yang masih berada dikisaran 11-17 derajat celcius. Meski tau Beijing
lebih dingin, saya tak sudi membawa-bawa jaket tebal, saya hanya membawa
sweater hitam saya, walau tidak tebal, sweater ini juga tidak tipis-tipis amat. (Namun akhirnya sweater ini tidak cukup hangat buat saya, terutama ketika berada di Tembok Cina yang berada diketinggian itu)
Kondisi kereta kurang lebih sama dengan kereta ekonomi di
Indonesia, bedanya disini tidak ada penjual asongan mondar-mandir. Saya dengar KAI pun juga sudah tidak membiarkan pedagang masuk kereta sekarang
Saya duduk disebelah seorang Bapak, dua tempat duduk didepan
saya pun di isi 2 orang pria. Mereka senyum-senyum ketika menyadarai seorang
lao wai (orang asing) duduk dekat mereka. Cuaca sangat dingin dan saya sedang batuk
parah, sepanjang jalan suara batuk saya mengiringi tidur orang-orang segerbong.
Kondisi toilet bau dan membuat anda tak ingin kesana lagi. Ada tempat
pengambilan air panas dimana-orang-orang pada bikin mi instan gelasan. Andai
saya tau, pasti saya akan bawa mi gelas juga, pikir saya. Tapi untungnya saya membawa
roti untuk bekal.
Tiba di Beijing saya berusaha keluar dari stasiun dengan
mencari tanda-tanda yang menunjukkan jalan menuju MRT. Saya keluar dan
kebingungan karena tidak ada tanda-tanda MRT. Dijalanan masih ada salju,
rupanya turun salju di malam ketika saya menuju kesana. Saya tidak tahu apakah
salju itu yang membuat cuaca menjadi sangat dingin.
Setelah bertanya
dengan bahasa mandarin ala kadarnya, ditambah bahasa tubuh, saya menemukan
sebuah pintu masuk MRT kebawah tanah, memang pintu yang tidak terlalu menonjol,
tak heran saya kesulitan menemukannya. Saya lalu mencari kereta yang menuju
hostel saya, saya menggukan kartu kereta yang diberikan teman saya. Hanya 2
yuan (Rp. 3000) kemana pun, wow, saya belum pernah naik MRT yang mengenakan harga flat dimanapun di Cina,
biasanya semakin jauh jaraknya, harga juga semakin mahal, Malaysia dan
Singapore juga demikian. Semua tas harus melewati scan seperti dibandara. Ini
juga pertama kali saya mengalami pemeriksaan semacam ini di MRT
Saya memegang peta lokasi hostel saya ditangan, meski tak
terlalu sulit, saya masih tetap harus bertanya pada seseorang dimana lokasinya.
Hostel itu berada di sebuah gang, dimana ada juga beberapa hostel yang lain.
Saya check in, memberikan lembaran bukti booking dan paspor, serta membayar
lunas untuk 5 malam. Saya diberi kunci locker, seprai, selimut, lalu diantar ke kamar saya. Kamar kosong ketika itu,
saya segera menata barang-barang saya dalam lemari lalu mandi dan bersiap-siap
menuju tujuan pertama saya: Tiannamen Square
1. Tiannamen Square
Tiannamen Square adalah sebuah lapangan dipusat kota
Beijing, disini ada monumen untuk pahlawan revolusi Cina, memorial hall Mao Zedong, lapangan ceremonial Partai Komunis Cina, dan Museum Nasional Cina. Selain tempat-tempat tersebut, Tiannamen Square terkenal karena sebuah peristiwa demonstrasi pada tahun 1989 yang dilakukan sekitar 300.000 orang. Demontrasi itu berakhir tragis karena menewaskan ratusan orang hingga ribuan, walau pemerintah Cina hanya menyebutkan angka 241 orang (218 penduduk sipil yang 36 diantaranya mahasiswa) 10 orang tentara, 13 orang polisi) dan 7000 orang luka-luka. (sumber: Wikipedia)
Dari hostel hanya perlu satu kali naik MRT untuk mencapai lapangan ini. Saya tidak tahu sebelumnya bahwa lapangan ini berdekatan dengan Forbidden Palace dan Beijing National Museum. Seandainya saya tau, pasti saya menggandengkan Tiananment Square dan Forbidden Palace dalam hari yang sama di rencana perjalanan saya. Keluar dari stasiun MRT menuju ke lapangan ini tidaklah mudah karena saya harus keluar dulu dari stasiun, semua jalan dipagar dan saya kebingungan mencari-cari jalan untuk menyebrang
Suasana lapangan ketika itu sangat ramai, banyak rombongan-rombongan turis berseliweran. Lapangan bersih dan tertata rapi, banyak monumen-monumen berdiri disana. Setelah puas melihat-lihat dan berkeliling, saya kembali ke
hostel karena hari juga sudah sore.
Dari hostel hanya perlu satu kali naik MRT untuk mencapai lapangan ini. Saya tidak tahu sebelumnya bahwa lapangan ini berdekatan dengan Forbidden Palace dan Beijing National Museum. Seandainya saya tau, pasti saya menggandengkan Tiananment Square dan Forbidden Palace dalam hari yang sama di rencana perjalanan saya. Keluar dari stasiun MRT menuju ke lapangan ini tidaklah mudah karena saya harus keluar dulu dari stasiun, semua jalan dipagar dan saya kebingungan mencari-cari jalan untuk menyebrang
Tiannamen Square, Beijing |
Diperjalanan menuju hostel saya singgah membeli makan malam. Ada banyak makanan dijual disekitar tempat itu, saya suka makanan yg mempersilahkan kita memilih berbagai macam sayur, daging dan bakso yang direbus, dijajakan dengan tusuk sate, kita bisa memilih yang kita mau, lalu meminta mereka untuk merebuskan.
2. Forbidden City
Forbidden Palace, Beijing, China |
Jika anda hendak kesini, gandengkanlan kunjungan anda dengan Tiannamen Square, karena mereke bersebelahan.
Perjalanan saya dimulai dengan naik MRT line 2 lagi dan berjalan kaki sambil bertanya-tanya dimana bekas istana itu, rombongan anak-anak muda berjumlah 5 atau 6 orang hanya cengengesan ketika saya tanya, nampaknya mereka tidak bisa berbahasa inggris. Lalu saya bertanya lagi ke orang lain dan dia mengarahkan saya untuk menyebrang melalui jalandi bawah tanah. Saya membayar tiket masuk 40 Yuan atau Rp 60.000,-
Kompleks Forbidden City, Beijing, susunan bangunan berbentuk kotak dengan lapangan ditengahnya |
Salah satu sudut di Forbidden City |
Pintu masuk istana berupa gerbang tinggi yang terbuka, jika tertutup, bisa dibayangkan bagaimana terasingnya tempat ini dari dunia luar. Saya membeli kartu remi bergambar tempat-tempat wisata Beijing yang dijual seharga 5 Yuan atau Rp 7500, saya membeli 2 buah. (Kemudian dari teman dihostel saya tau bahwa kartu ini mustinya bisa dibeli dengan harga 2 Yuan. haha...asem, saya kena tipu)
Begitu melewati gerbang, pengunjung langsung berada di
sebuah lapangan yang dikelilingi bangunan dengan bentuk petak, yang kemudian
tersambung lagi dengan bentuk bangunan yang sama dibelakang. Jadi semua berupa
kompleks kotak-kotak yang selalu mempunyai lapangan ditengahnya.
Menurut
Wikipedia, istana ini mempunyai 9999 ruangan, jumlah yang yang dibuat mendekati
kesempurnaan (10.000). Kaisar tidak membuatnya hingga jumlah sempurna yaitu 10.000 karena mereka merasa
nomor kesempurnaan tersebut adalah milik Tuhan atau mahluk yang menguasai
mereka. Konon dikamar-kamar yang banyak ini kaisar menyimpan selir-selirnya.
Gentong dari Tembaga |
Dilapangan-lapangan yang ada terdapat gentong-gentong penampungan air yang terbuat dari tembaga. Mereka juga mempunyai patung-patung besar, alat yang dipakai untuk menunjukkan waktu (jam) dan barang-barang lain yang disimpan dalam ruangan, seperti keramik, pakain raja, perhiasan dan lain-lain. Walau pengunjung ramai dan berisik, tak bisa dipungkiri, kita terbawa dalam imajinasi, ketika seorang kaisar masih ada dan memerintah di istana ini, dikelilingi prajurit, pelayan dan selir.
Salah satu benda di Forbidden City, kayaknya buat bakar dupa ya (saya nggak yakin) |
Lanjut ke Jalan-Jalan (Backpacking) ke Beijing - Bagian 2
3 comments
Kudu ah kesini..
ReplyDeleteLanjutan 2nya mana???
Bagian ke 2 itu ada link nya paling bawah tulisan
DeleteCahaya: ada linknya paling bawah
ReplyDeleteTerimakasih sudah mampir, silahkan tinggalkan pesan untuk tulisan ini yaa. Terimakasih